Wednesday, October 16, 2019

Cerpen Lucu Pengalaman Pribadi Paling Baru

KUCING YANG PENGERTIAN 

KARYA Hesti Wulandari

Dirumahku,  aku punya satu kemarau hujung kucing betina pendatang. Kunamai kucing itu dengan nama “Bunting”.  Ada alasan tersendiri kenapa kunamai kucing itu dengan nama “Bunting”. Pasalnya, kucingku itu subur banget. Ia keseringan berperut bunting. Tak lama setelahnya Ia berojol. Beberapa bulan kemudian Ia bunting lagi bersama lagi!

Suatu siang, tatkala ku sedang mengetik  RPP di meja ruang tamu, tiba-tiba ku terkejut bukan kepalang. Nadia teriak-teriak kayak orang baru aja habis lihat hantu. “Kak Nong, kesini.cepatan!!!”. Teriak Nadia memanggilku. Cepat-cepat kuberjalan menyusul Nadia yg sedang berada di kamar Bang Ijal. “Ada apa sih dek teriak-teriak, bikin orang jantungan aja”. Tandasku ke Nadia.


“Kak, kucing yg datang ke rumah kita beberapa minggu yg lalu udah berojol. Lihat nih Kak kucingnya berojol didalam keranjang tempat  baju kotornya Bang Ijal. Gimana nih Kak?. Aku gak mau cuci. Gak mau! Gak mau! Pokoknya gak mau”. Seru Nadia dengan nada mengeluh kepadaku. “Ya udah aku yg cuci”. Jawabku dengan nada keterpaksaan. Aku adalah orang yg sudah familiar dengan taik kucing bersama semua persoalan lainnya yg disebabkan oleh kucing. Dulu, aku pernah punya kucing sembilan ekor.

Bayangin saja bertapa pusingnya diriku dengan seabrek masalah yg dibawa kucing-kucing itu. Mulai dari yg paling parah, mereka beol diseluruh kamar yg ada dirumahku sampai kepada acara pakek ngambil ikan yg sudah kututup rapat dengan tudung saji. Aku adalah pecinta kucing bersama penyayang terhadap kucing.  Jadi tak masalah bagiku coba kucing itu berojol alias berak sembarang tempat. Paling-paling coba mereka kedapatan mengambil ikan bersama beol alias muntah disembarang tempat aku memukuli mereka dengan beberapa lidi yg kuambil dari berkah sapu halaman.

Meskipun mereka sering mendapat hukuman, kucing-kucing tersebut tidak jera. Mereka tetap dengan hobi mereka itu. Mereka tak peduli dengan bertapa capeknya aku membuang muntah bersama taik mereka serta sprei yg hampir tiap hari kucuci balik karena setiap hari mereka ngompol di tempat tidur persis bayi yg baru kemarau jadi saja. “Dasar kucing-kucing…”. Gumamku dalam hati.

Yah, harus gimana lagi mau gak mau aku harus merelakan diriku jadi Baby Sister, jadi Baby Sister gak ada gaji lagi. “Nasib-nasib, malang benar ya”. Celotehku dengan nada kesal. Bertapa tidak tak ada seorangpun orang rumah yg mau membantuku. Semua masalah yg dibuat sama kucing harus ku selesaikan sendiri. Kalau si Nadia, adikku sih si super malas, mana mau dia disuruh berurusan dengan yg namanya muntah bersama taik kucing. Anak perempuan yg kemanjaan kayak dia cuma bisa maen facebook sama bbm. Karena tidak tahan dengan penderitaan hidup yg tiada akhir-akhirnya, akhirnya setelah mendapati tuh kucing-kucing lakuin kesalahan fatal dengan beol di sofa ruang tamu, aku tidak memberikan mereka kompensasi lagi. Kali ini tiada ampun untuk mereka.

Setelah kuberi hukuman kucing itu dengan memukulnya dengan sapu lidi, kuputuskan hal yg paling berat meskipun hatiku sedih bersama teriris juga karena diriku sudah sangat sayang kepada tuh kucing-kucing yg sering kugendong bersama terkadang tidur disampingku. Aku membuang mereka kepinggir jalan alias ke pasar ikan walaupun ku tahu mereka enggan bersama berat tuk meninggalkan majikan yg baik sekaligus juga kemarau jahil sepertiku.

Aku selalu menerima kucing yg datang. Ku rela rumahku dijadikan tempat penampungan semua kucing. Lagipula banyak kucing, banyak rezeki. Begitu kata orang. Kucing itu juga binatang kesayangan Nabi. Karena alasan itulah kuizinkan semua kucing tinggal di rumahku asalkan mereka tidak melanggar norma-norma kesopanan bersama tata karma yg sedia kutetapkan, tak boleh kemarau ke atas keatas meja makan, tak boleh dengan sengaja mengambil ikan yg sudah ditutup dengan tudung saji serta tak boleh beol alias muntah sembarang tempat.

Setiap kucing yg melanggar tak ayal harus mendapat hukuman  dibuang ke pasar ikan biar jadi gembel dijalanan. Hukuman itu juga kuterapkan kepada Bunting. Saat itu ku tak bisa toleransi lagi dengan taik anak-anaknya yg hampir ada disemua ruangan yg ada di rumahku. Anak-anaknya  buat masalah. Kalau Bunting sih tidak. Ia hanya membuat kesalahan kadang-kadang coba ia sudah benar kelaparan. Jika perutnya sudah lapar, ia bisa menelungkupkan gelungku besar yg sudah kuletakkan diatas tudung saji. 

Suatu hari, aku  memutuskan membuang ketiga anak-anaknya yg masih merah namun sudah bisa berjalan walaupun lamban. Hari itu merupakan hari yg sangat melelahkan bagiku. Bertapa tidak, aku harus mengejar anak-anak kucing yg sepertinya mereka tahu kalau mereka mau dibuang. Anak-anak kucing itu sepertinya tidak mau hidup dijalanan jadi gembel. Mereka tetap bersikukuh tak ingin out dari rumah yg menurut mereka pasti sangat nyaman. Mereka tak mau dimasukkan kedalam karung. Akhirnya, setelah beberapa jam, setelah dibantu Bang Ijal, Abangku dalam proses pengejaran tuh kucing, kami berhasil juga mengumpulkan anak-anak kucing buronan itu untuk dimasukkan kedalam karung beras.

“Bang, ada yg kelupaan..”. Panggilku kepada Bang Ijal yg mulai pergi meninggalkan dapur. “Ada apa lagi?”. Tanya Abangku. “Mamaknya aturannya dibuang juga. Kasihan anak-anaknya masih nyusu”. Tandasku. Tanpa berkata apa-apa, Bang Ijalpun menggurungkan niatnya membuang anak-anak kucing itu kepasar.

Aku bersama Bang Ijal melanjutkan ekpedisi mencari mamak si anak kucing yg sudah dari tadi nangis “meong-meong” mencari ibu mereka. Bunting pun pulang dari kegiatannya berburu tikus bersama tupai diluaran. Seperti biasa, tak lupa Ia membawa makanan berupa tikus tuk anaknya.

“Wah, sayang kali si Bunting sama anak. Tandasku kepada Bang Ijal yg sudah sedari tadi berdiri siap sedia untuk menangkap Bunting.

“Hhppppp,,,,Bunting akhirnya bisa ditangkap oleh Abangku. Cepat-cepat Bang Ijal memasukkannya kedalam karung beras yg sudah berisi ketiga anaknya. Kami pikir setelah melihat ketiga anaknya, Bunting mau ikut ke pasar menemani anak-anaknya yg masih bayi. Ternyata dugaan kami salah. Bunting memaksa untuk keluar karung. Setelah beberapa lama memaksa Bunting untuk masuk kedalam karung, usaha kami gagal juga. Akhirnya kami putuskan untuk membawa ketiga anaknya saja ke pasar sementara Bunting tetap kami biarkan dulu tinggal di rumah ini.

Beberapa bulan kemudian Bunting perutnya berisi bayi lagi. Kami pikir Bunting atas membuat masalah lagi dengan kelahiran anak-anaknya. Ternyata tidak, Bunting cukup sadar diri saat kami membuang ketiga anaknya dengan mata kepalanya sendiri. Ia tak lagi berojol di rumah. Bunting memilih berojol di rumah sepupuku, tepatnya diatas tumpukan baju-baju kotor sepupuku. Untuk menghindari anaknya dibuang kedua kalinya, Bunting juga tidak membesarkan anaknya lagi di rumahku. Begitulah selalunya Bunting lakukan kalau ia ingin berojol. “Waah…taat kali tuh kucing gak bikin capek majikannya”. Ujar Nadia sambil ketawa. Sementara Aton, sepupuku terlihat kesal karena sudah capek mencuci baju-baju kotor yg sudah bercampur dengan darah.

Bireuen, 20 September 2020

No comments:

Post a Comment