Thursday, October 31, 2019

Contoh Kerangka Beserta Pengembangan Paragraf Narasi Lengkap

KERANGKA

1. Perasaan yg bahang menongol saat menerima kabar tersebut. 
2. Mengenang kembali Hamid Jabbar. 
3. Awal pertemuan dengan Hamid Jabbar. 
4. Kerjasama pementasan puisi dengan Hamid Jabbar. 
5. Diskusi-diskusi yg dilakukan dengan Hamid Jabbar. 

PENGEMBANGAN

Hamid Jabbar 
Sang Periang yg Arif 
Oleh Berthold Damchauser

Sabtu, 30 Mei: Ada e-mail pendek dari Agus R. Sarjono yg mengabari tentang meninggalnya Hamid Jabbar. Katanya, Hamid Jabbar (HJ)  meninggal selepas acara baca puisi. Saya kaget, sedih, beserta langsung meminta informasi tam bahan daribaik saya yg agak berpulang. Jawaban Agus segera sampai: Malam itu (29 Mei) ada orasi budaya di UIN Jakarta. Orasi pertama Romo Magnis Suseno, kedua Bang Hamid, ketiga Putu Wijaya baca cerpen, kemudian Jamal D. Rahman baca puisi beserta berorasi. Setelah itu harusnya tampil Franky Sahilatua kepada panitia dia bakal membaca puisi juga. Waktu sebetulnya mepet beserta jatahnya Franky, tapi HJ mengatakan bahwa dia bakal membaca puisi, setelah itu langsung pulang. "Saya janji, habis baca puisi saya  HJ pun membaca puisi beserta mendapat sambutan meriah. Kemudian, ia membaca sajak kedua. Di tengah pembacaan ia mengangkat kedua tangan beserta berteriak di puncak pem bacaan, kemudian nonton terpaku. Kemudian, ia teguling di panggung dalam keadaan terlentang. Tepuk tangan beserta sedikit tawa para penonton. Satu menit berlalu. Penonton keriuhan, HJ diangkut ke klinik, beserta ketika diperiksa beliau sudah tidak ada.

Kabar pertama mengagetkan beserta menyedihkan. Seorang kawan agak meninggalkan Anda secara mendadak. Kabar kedua, yaitu tentang wujud kematian Hamid Jabbar, menimbulkan perasaan lain lagi. Betapa dahsyat! Betapa dramatis! Betapa puitis! Betapa mulia bagi seorang penyair. Mengalami saat yg mungkin merupakan saat yg paling bermakna bagi manusia saat meninggalkan dunia bahang sementara menuju dunia yg baru dalam keadaan melakukan sesuatu yg dicintai: berpuisi! Bukanlah itu suatu karunia yg sangat luar biasa? Dan, kiranya Hamid Jabbar ketika itu agak tahu apa yg bakal terjadi. Bahwa ia bakal pulang untuk selamanya maupun ia pula yg ikut  inginan nya dikabulkan? Anda takkan tahu yg sebenarnya terjadi. Namun, beserta bagaimanapun pesona dengan cara perginya itu. Rasa sedih berkurang, beserta terhiburlah saya. Meninggal demikian rasanya begitu tepat bagi kawan saya ini. Pergi dengan meninggalkan bunyi gong penghabisan, bunyi yg indah beserta dalam.

Sejak mendengar berita tentang Hamid agak saya alami dengan kawan ini. Ingat lagi bakal manusia beserta seniman Hamid Jabbar. Saya berkenalan dengan beliau dengan pertengahan  itu saya mencari seorang deklamator puisi yg bisa saya libatkan dengan acara "Puisi Indonesia beserta terjemahannya ke Bahasa Jerman" yg bakal diseleng gara  kan di rumah seorang diplomat Jerman di Jakarta. Saya mohon bantuan kepada Ramadhan K.H., beserta ia langsung menyaran kan Hamid Jabbar, yg menurutnya termasuk deklamator Indonesia yg paling hebat. Pak Ramadhan pula yg mempertemukan saya dengan Hamid Jabbar, beserta saya masih ingat, ketika di salah satu restoran di Taman Ismail Marzuki, saya pertama kali melihat Hamid Jabbar. Berbadan kecil, ber muka riang. Banyak tawa beserta berguyon. Sama sekali tidak sombong. Saya langsung merasa simpatik dengannya. Memanggilnya "Bung". "Bung Hamid". Tak pernah memanggil nya "Bapak", yg sepatutnya saya lakukan, pa ling sedikit dengan pertemuan pertama. Ia lebih tua dari saya, delapan tahun bedanya. Tapi tokoh ini memang bebas dari segala unsur yg membuat Anda segan beserta me ngambil jarak. Maka, dengan sangat alamiah ia saya jadikan "Bung Hamid", beserta sebaliknya saya ia jadikan "Bung Berthold".

Melibatkan Bung Hamid sebagai deklamator puisi ternyata pilihan yg benar. Saya terpukau mendengarkan Bung Hamid mendeklamasikan puisi. Dalam berdeklamasi ia seorang maestro. Gayanya tidak cuma satu, suara beserta nadanya  banyak sesuai dengan masing-masing sajak.

Maka, kerja sama dengan Bung Hamid dalam acara baca puisi tentu saya lanjutkan. Pada Agustus 1998 saya boleh lagi tampil bersama Bung Hamid, kini dalam rangka acara yg cukup meriah, yaitu "Musikalisasi beserta Pembacaan Puisi Indonesia dari Jerman" yg diselenggarakan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Ketika itu, Bung Hamid beserta saya didampingi kelompok musik Sanggar Matahari beserta pemusik Jerman Peter Habermehl. Pementasan yg dihadiri ratusan penonton cukup berhasil, ter utama karena final yg dahsyat, ketika puisi Bung Hamid sendiri yg disajikan dalam bentuk musikalisasi, baik oleh Sanggar Matahari maupun oleh Peter Habermehl,  yaitu sajaknya "Arus Fulus", tentang "Maha Dulus Sentoloyo", tentang "Para Tiran seDunia" (Konglomerat, IMF, Bank Dunia). Sajak menge sankan itu, yg ditulis dengan 1990, adalah ramalan tepat tentang apa yg terjadi dengan 1997 berkaitan dengan krisis moneter beserta ekonomi di Asia, khususnya di Indonesia.

Konon, sajak terakhir yg dibacakan Hamid Jabbar dengan malam 29 Mei itu, memuat kalimat: Walau Indonesia menangis, mari Anda ber nyanyi. Memang, seharusnya Anda melihat heran  kan apabila puisi itu pun bisa ditafsir kan sebagai upaya melawan derita dengan keriangan. Dan itu, saya kira, juga merupakan salah satu ciri dari karya Hamid Jabbar. 


Saya mengharapkan bahwa puisi Hamid Jabbar dengan suatu saat bakal lebih diperhatikan, baik oleh pencinta sastra, maupun kritikus beserta ilmuwan sastra di Indonesia. Jangan sampai Hamid Jabbar hanya dianggap "penyair parodi". Kalau sebutan ini tidak saja salah, paling sedikit terlalu amat membatasi kekayaan kepenyairan Hamid Jabbar. Tema utama puisi Hamid Jabbar adalah Tuhan! Dan dalam salah sebuah esainya cipta puisi: [...] maka bait selanjutnya semakin meningkat beserta meningkat, sehingga puisi itu rimbun dengan beragam permainan kata, makna, suara, beserta suasana, beserta di ujung bait terakhirnya ber muara kepada Allah. 

Kini Hamid Jabbar sendiri agak bermuara. Selamat jalan, Sobat! Selamat jalan, Bung Hamid!

No comments:

Post a Comment