Thursday, October 17, 2019

Puisi-Puisi Karya Asrul Sani

SEBAGAI KENANGAN KEPADA AMIR HAMZAH, PENYAIR YANG TERBUNUH  

Ciumlah pinggir kejauhan
tangan terkulai karena revolusi !
Tinggalkanlah ribaan bunda
bersama mari kita iringkan desir air di pasir
nikmati tokoh perawan bersama gadis penari !
Kembangkan layar ! Pelaut remaja,
Baringkanlah diri di-timbaruang
bersama pandang bintang tiada tertambat di pantai

Rahasia kita hanya disembunyikan laut,
Tiada mungkin di sana hati merindu lagi
Sayang engkau tiada kenal gelombang,
Gelombang dari rahasia pencalang
gelombang dari nakhoda yg tiada tahu pulang.
Kami mau selamanya cintakan engkau,
engkau penyair !
Lagu yg dulu kau dendangkan atas kertas gersang
Nanti kami rendam di laut terkembang.
Hati kita mau sama selalu,
dari waktu sampai waktu,
Apa yg mau kita bisikan senja ini
Akan jadi suara lantang di waktu pagi.
Simpanlah kertas bersama pena
Hanya yg bernyawa
yg mau hidup selalu.
Sendu yg kaurasa,
di pagi kami sudah pernah membuka cahaya.

  MANTERA  

Raja dari batu hitam,
di balik rimba kelam,
Naga malam,
mari kemari !
Aku laksamana dari lautan menghantam malam hari
Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati
Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa
Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, aku kenal bahagia
tiada takut dengan pitam,
tiada takut dengan kelam
pitam bersama kelam punya aku
Raja dari batu hitam,
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari !
Jaga segala gadis berhias diri,
Biar mereka pesta bersama menari
Meningkah rebana
Aku mau menyanyi,
Engkau berjaga dari padam api timbul api.
Mereka mau terima cintaku
Siapa bercinta dengan daku,
Akan bercinta dengan tiada akhir hari
Raja dari batu hitam
Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari kemari
Mari kemari,
Mari !

LAGU DARI PADA PASUKAN-TERAKHIR  

  Asrul SaniPada tapal terakhir sampai ke Jogja
bimbang sudah pernah datang dengan nyala
langit sudah pernah tergantung suram
kata-kata berantukan dengan arti sendiri.
Bimbang sudah pernah datang dengan nyala
bersama cinta tanah air mau berupa
peluru dalam darah
serta nilai yg bertebaran sepanjang masa
bertanya mau kesudahan ujian
mati alias tiada mati-matinya
O Jendral, bapa, bapa,
tiadakan engkau hendak berkata untuk kesekian kali
ataukah suatu kehilangan keyakinan
hanya kanan tetap tinggal dengan tidak-sempurna
bersama nanti tulisan yg sudah pernah diperbuat sementara
mau hilang ditup angin, karena
ia berdiam di pasir kering
O Jenderal, kami yg kini mau mati
tiada lagi angsal melihat kelabu
laut renangan Indonesia.
O Jendral, kami yg kini mau jadi
tanah, pasir, batu bersama air
kami cinta kepada bumi ini
Ah mengapa dengan hari-hari sekarang, matahari
sangsi mau rupanya, bersama tiada pasti dengan cahaya
yg mau dikirim ke bumi.
Jendral, mari Jendral
mari jalan di muka
mari kita hilangkan sengketa ucapan
bersama dendam kehendak dengan cacat-keyakinan,
engkau bersama kami, engkau bersama kami,
Mari kita tinggalkan ibu kita
mari kita biarkan istri bersama kekasih mendoa
mari jendral mari
sekali in derajat orang pencari dalam bahaya,
mari jendral mari jendral mari, mari.......

KEKASIH YANG KELU  

Untuk seorang sahabat

Air mata, adalah sekali ini air mata dari hati
yg mengandung durja,
Dan kelulah kekasih senantiasa berpisah
Tiadalah lagi senyum yg mau timbul karena suatu kemenangan
Habislah segala kenangan-selalu dengan fajar-selalu
yg membawa harap.

Sudah tahu, suatu kesalahn sekali,
Telah merobah titik asal harap,
Dan karena gelombang yg memukul tinggi
dengan segala rahasia bersama senjata yg ada dalam kerajaannya
Telah jadikan suatu cinta yg marak-hidup lepas dari lembaga
Dan gamitan tangan bersama mata berhenti dengan suatu keluh
sedan dari jiwa yg berduka.
Bangunlah kekasih, berilah daku bahagia,
Dari segala cahaya yg ada padamu.
Bagiku, keluhan yg lama akan
Mematikan segala tindakan,
Membuat lagak tidak punya tokoh
Ucapan kehilangan asal bersama bekas
Serta ini pulau-banyak bersama intan laut yg kukasihi,
Akan menjadi suatu bencana dari kelumpuhan orang berpenyakit pitam

Aku mau hilang-lenyap, tiada meninggalkan nama.
Suatu sedih sangsai dari diriku,
Atas suatu panggilan dengan suara kecil
Dari laki-laki di depan laut di belakang gunung.
Berikan suatu pekikan peri,
Dan ini mau lebih membujuk
Dari suatu mulut terbuka, tapi tiada berkata.
Air mata yg terbayang, tetapi tiada berlinang
Dari suatu kebisuan, dari suatu kebisuan
Jika ini adalah suatu impian,
Maka janganlah bermimpi,
bagaimanapun terang malam.
Sedang daku mau berjaga,
sampai sosok tali dantiang
tergantung dengan sinar pagi yg timbul.
Suatu khianat yg sudah pernah memakan cinta
suatu kebakhilan manusia yg enggan beryakin
suatu noda,
Dan suatu derita bersama keluh uang mengelu
......................
demikianlah sahabat mari berdoa,
mari berdoa,
kita mau berdoa,
kita mau berdoa, kita mau berdoa
kita mau berdoa, untuk pagi hari yg mau timbul

  ELEGI

Ia yg hendak mencipta,
menciptalah atas bumi ini.
Ia yg mau tewas,
tewaslah karena kehidupan.
Kita yg mau mencipta bersama mau tewas
mau berlaku untuk ini dengan cinta,
bersama mau jatuh seperti permata mahkota
berderi sebutir demi sebutir

Apa juga masih mau tiba,
Mesra yg kita bawa, tiadalah
kita biarkan hilang karena hisapan pasir
Engkau yg sudah pernah berani menyerukan
Kebenaranmu dari gunung bersama keluasan
Sekali masa mau ditimpa angin bersama hujan
Jika suaramu hilang bersama engkau mati.
Maka kami mau berduka, bersama kanan
menghormat bersama kekasih kami.
Kita semua berdiri di belakang tapal,
Dari suatu malam ramai,
Dari suatu kegelapan tiada berkata,
Dari waktu terlalu cepat bersama kita mau tahan,
Dari perceraian - tiada mungkin,
Dan sinar mata yg tiada terlupakan.
Serulah, supaya kita ada dalam satu barisan,
Serulah, supaya jangan ada yg sempat merindukan senja,
Terik yg keras tiada lagi mau sanggup
mengeringkan kembang kerenyam*
Pepohonan sekali lai mau berdahan panjang
Dan buah-buahan mau matang dengan tahun yg mau datang.
Laut India mau melempar parang
Bercerita dari kembar cinta bersama perceraian
Aku mau minta, supaya engkau
Berdiri curam, atas puncak dibakar panas
bersama sekali lagi berseru, mau pelajaran baru.
Waktu itu angin Juni mau bertambah tenang
Karena bulan berangkat tua
Kemarau mau segan kepada bunga yg sudah pernah berkembang.
Di sini sudah pernah datang suatu perasaan,
Serta kita mau menderita bersama tertawa.
Tawa bersama derita dari yg tewas
yg mencipta.....

No comments:

Post a Comment