Sunday, December 15, 2019

Contoh Kritik Sastra Lagi Esai Serta Ciri-Cirinya

Guruberbahasa.com - Contoh Kritik Sastra bersama Esai Serta Ciri-Cirinya

Ciri-ciri kritik sastra bersama esai yg baik adalah selalu mempertimbangkan empat komponen berikut ini. 
a. Data ataupun fakta 
b. Inference ataupun kesimpulan 
c. Evaluasi ataupun judgment 
d. Penilaian 
Selain itu, juga harus didukung oleh intuisi penulis secara tajam bersama kritis. 

Perhatikan contoh kritik sastra bersama esai berikut ini. 

a. Contoh kritik sastra


Kebangkitan Tradisi Sastra Kaum Bersarung 
Penulis: Purwana Adi Saputra 

Selama ini, entah karena dinafikan ataupun justru karena menafikan fungsinya sendiri, kaum pesantren seolah tersisih dari pergulatan sastra yg penuh gerak, dinamika, juga anomali. Bahkan, di tengah-tengah gelanggang sastra kemarau jasmani mereka yg menganggap bahwa kaum santrilah yg mematikan sastra dari budaya bangsa. Di setiap pesantren, kedangkalan pandangan membuat mereka menarik kesimpulan picik bahwa santri itu hanya percaya kepada dogma bersama jumud. Mereka melihat tradisi hafalan yg sebenarnyalah merupakan tradisi Arab yg disinkretisasikan sebagai bagian dari budaya belajarnya, sedia membuat kaum bersarung ini kehilangan daya khayal dari dalam dirinya. Dengan kapasitasnya sebagai sosok yg paling berpengaruh bagi transfusi budaya bangsa ini, dengan seenaknya ditarik hipotesis bahwa pesantrenlah musuh pembudayaan sastra yg sebenarnya. Kaum bersarung adalah kaum intelektualis yg memarjinalkan sisi imaji dari alam pikirnya sendiri. Pesantren adalah tempat yg pas buat mematikan khayal. Pesantren adalah institut tempat para kiai dengan dibantu para ustadnya menempa kepala para santri dengan palu godam paksa. 

(Dikutip seperlunya dari Solopos, 5 Desember 2007)

b.  Contoh esai 


Perda Kesenian bersama Rumah Hantu 
Oleh: Teguh W. Sastro 

Beberapa waktu lalu Dewan Kesenian Surabaya (DKS) melontarkan keinginan agar Pemkot Surabaya memiliki Perda (Peraturan Daerah) Kesenian. Namanya juga peraturan, dibuat pasti untuk mengatur. Tetapi peraturan belum tentu tidak ada jeleknya. Tetap ada jeleknya. Yakni, misalnya, misalnya peraturan itu justru potensial destruktif. Contohnya misalnya dilahirkan secara prematur. Selain itu, seniman kan banyak ragamnya. Ada yg pinter (pandai) bersama ada juga yg keminter (sok tahu). Oleh karenanya, perten-tangan  di antara mereka pun bakal meruncing, misalnya, soal siapa yg paling berhak mengusulkan bersama kemudian memasukkan pasal-pasal ke dalam rancangan Perda itu. Sejauhmana keterlibatan
seniman di dalam proses pembuatan Perda itu, bersama seterusnya. Itu hanya salah satu contoh persoalan yg potensial kemarau tumbuh; keluar kepada proses pembuatan Perda itu, belum sampai kepada tataran pelaksanaannya. Hal ini bukannya menganggap bahwa adanya peraturan itu tidak baik, terutama menyangkut Perda Kesenian di Surabaya. Menyangkut sarana bersama prasarana, misalnya, bolehlah dianggap tidak ada persoalan yg signifikan di Surabaya. Akan tetapi, bagaimana halnya misalnya menyangkut mental bersama visi para seniman bersama birokrat kesenian sendiri? 

(Dikutip seperlunya dari Jawa Pos, 30 Januari 2007)

No comments:

Post a Comment