Wednesday, December 4, 2019

Cara Mengukur Keterbacaan Dengan Grafik Fry

Guruberbahasa.com- GRAFIK FRY

Edward Fry memperkenalkan formula keterbacaan yg disebut dengan grafik fry. Grafik Fry pertama kali dipublikasikan di majalah “journal of reading” kepada tahun 1977, bersama grafik yg asli dibuat kepada tahun 1968. Formula keterbacaan dalam grafik ini berdasarkan dua faktor, yaitu panjang pendek kata bersama tingkat kesulitan kata yg ditandai oleh jumlah (banyak-sedikitnya) suku kata yg membentuk setiap kata dalam wacana tersebut (Muchlisoh, 1996:170).
GRAFIK FRY (google)

Dari grafik di atas, boleh dijelaskan beberapa hal. Di bagian bawah grafik terdapat   deretan angka 108, 112, 116, 120 bersama seterusnya. Angka-angka tersebut menun-jukkan data rata-rata jumlah suku kata per seratus perkataan. Semakin banyak jumlah suku kata kepada per seratus perkataan, semakin sulit wacana tersebut bersama sebaliknya.

Angka-angka yg tertera di bagian samping kiri grafik terdapat deretan angka 25.0, 20, 17.7, bersama seterusnya. Angka-angka tersebut menunjukkan data rata-rata jumlah kalimat per seratus perkataan. Hal ini menunjukkan faktor panjang pendek kalimat.

Angka-angka yg berderet di bagian tengah grafik bersama berada di antara garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan wacana yg dianalisis. Angka 1 menunjukkan peringkat 1. Artinya apabila hasil titik temu antara jumlah suku kata bersama jumlah kalimat dalam seratus perkataan jatuh kepada sekat 1 maka wacana tersebut cocok untuk siswa peringkat 1 ataupun kelas satu.

Daerah yg diarsir kepada grafik yg terletak di sudut kanan atas bersama sudut kiri bawah merupakan daerah invalid. Artinya, apabila hasil analisis keterbacaan se-buah wacana jatuh kepada wilayah yg diarsir, maka wacana tersebut tidak valid sebagai bacaan yg ditawarkan kepada pembaca.
Adapun petunjuk penggunaan grafik fry adalah sebagai beikut.

a. Pilihlah penggalan yg representatif dari wacana yg hendak diukur tingkat keterbacaannya dengan mengambil 100 buah kata dar wacana yg hendak diukur keterbacannya. Yang dimaksud dengan kata dalam hal ini adalah sekelompok lambang yg dikiri bersama dikanannya berpembatas. Dengan demikian lambang-lambang berikut, seperti, Fatimah, IKIP, 1999, bersama = masing-masing dianggap sebagai satu perkataan.

b. Hitunglah jumlah kalimat dari 100 kata tersebut hingga perpuluhan terdekat. Maksudnya sekiranya kata yg termasuk dalam hitungan seratus buah perkataan (sampel wacana) tidak jatuh di ujung kalimat, maka perhitungan kalimat tidak hendak selalu utuh malainkan selalu hendak ada sisa. Sisanya itu tentu adalah sejumlah kata yg merupakan bagian dari deretan kata-kata yg membentuk kalimat utuh. Karena keharusan pengambilan sampel wacana berpatokan kepada angka 100, maka sisa kata yg termasuk dalam hitungan seratus itu diperhi-tungkan dalam bentuk desimal (per puluhan).

c. Hitunglah jumlah suku kata dari wacana sampel yg 100 buah kata tadi. Sebagai konsekuensi dari batasan kata (seperti dijelaskan kepada langkah 1) di atas yg memasukkan angka bersama singkatan sebagai kata, maka untuk kata bersama singkatan, setiap lambang diperhitungkan sebagai satu suku kata. Misal, 234, terdiri atas tiga suku kata, IKIP terdiri atas empat suku kata.

d. Perhatikan grafik fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per saratus kata bersama baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata. Pertemuan garis vertikal (jumlah suku kata) bersama garis horizontal (jumlah kali-mat) menunjukkan tingkat-tingkat kelas pembaca yg diperkirakan mampu membaca wacana yg terpilih. Jika persilangan garis vertikal bersama horizontal itu berada kepada daerah gelap, maka wacana tersebut dinyatakan tidak absah. Guru harus memilih wacana lain bersama mengulangi langkah-langkah yg sama.

e. Tingkat keterbacaan ini bersifat perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi, baik ke atas maupun ke bawah. Oleh karena itu, peringkat keterbacaan wacana hendaknya ditambah satu tingkat bersama dikurangi satu tingkat. Sebagai contoh, sekiranya titik pertemuan dari persilangan garis horizontal untuk data jumlah kalimat bersama vertikal untuk data jumlah suku kata jatuh ke wilayah 6, maka peringkat wacana yg diukur tersebut harus diperkirakan tingkat keterbacaan yg cocok untuk peringkat 5, yakni (6-1) bersama 7, yakni  (6+1) (Hardjasujana, 1996:132—137).

Grafik fry merupakan hasil penelitian terhadap wacana bahasa Inggris. Hardjasujana menambahkan satu langkah lagi apabila ingin menggunakan grafik fry untuk mengukur keterbacaan wacana bahasa Indonesia, yakni mengalikan hasil perhitungan suku kata dengan angka 0,6. Angka ini diperoleh dari hasil penelitian (sederhana) yg memperoleh bukti bahwa perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Inggris dengan jumlah suku kata bahasa Indonesia itu 6:10 (6 suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira sama dengan 10 suku kata dalam bahasa Indonesia).

Untuk menentukan tingkat keterbacaan yg jumlah katanya kurang dari seratus kata, para ahli sedia menemukan jalan pemecahan yg sederhana. Pemecahannya adalah dengan cara melakukan penyesuaian terhadap prosedur penggunaan grafik Fry dengan mengajukan daftar grafik Fry.

Prosedur yg disarankan yakni dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut.

1) Hitunglah jumlah kata dalam wacana yg hendak diukur tingkat keterbacaannya itu bersama bulatkan kepada bilangan per sepuluh yg terdekat.
2) Hitunglah jumlah kata bersama kalimat yg ada dalam wacana tersebut.
3) Selanjutnya perbanyak jumlah kalimat bersama suku kata dengan angka-angka yg ada dalam daftar konversi seperti yg tampak di bawah ini.


Dengan demikian Grafik Fry boleh digunakan lagi menurut ketentuan yg berlaku.

Catatan penting tentang grafik Fry.

1. Untuk mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku, maka hendaknya di-lakukan pengukuran sebanyak 3 kali percobaan dengan pemilihan sampel dari wacana bagian awal buku, bagian tengah buku, bersama bagian akhir buku. Kemudian hitung hasil rata-ratanya.

2. Grafik Fry merupakan penelitian untuk wacana bahasa inggris. Padahal struktur bahasa inggris berbeda jauh dengan bahasa Indonesia, terutama dalam hal suku katanya. Berdasarkan kenyataan tersebut, tidak hendak pernah didapati wacana dalam Bahasa Indonesia cocok untuk peringkat kelas di dalam grafik Fry. Sebab titik temunya pasti berada kepada daerah yg diarsir.

No comments:

Post a Comment