Guruberbahasa.com- KETERBACAAN
Pada dasarnya, formula-formula keterbacaan yg di samping memiiki kelebihan juga mengandung kelemahan. Sebagimana sudah pernah dijelaskan, formula-formula ke-terbacaan yg dipakai mendasarkan diri dengan dua hal yakni panjang-pendeknya kalimat bersama tingkat kesulitan kata(Laksono, 2008: 4.33). Kedua faktor yg menjadi landasan bagi formula-formula keterbacaan ini membuahkan pertanyaan baru. yaitu, bagaimana dengan konsep-konsep yg terkandung dalam wacana yg bersangkutan? Bukankah konsep makna yg terkandung dalam suatu waca-na yg tidak terjangkau oleh pembacanya mau berdampak dengan keterpahaman pembacanya. Sering kita dapati kasus, seseorang tidak bisa memahami wacana yg dibacanya meskipun wacana tersebut sudah pernah memenuhi kriteria keterbacaan untuk peringkat pembaca yg bersangkutan.
Kita tahu bahwa pertimbangan panjang-pendek kata bersama tingkat kesulitan kata dalam pemakaian formula keterbatasan, semata-mata hanya didasarkan dengan per-timbangan struktur permukaan teks. Struktur yg secara visual bisa dilihat. Adapun konsep yg terkandung dalam bacaan sebagai struktur dalam bersama bacaan tersebut tampaknya tidak terperhatikan. Dengan kata lain, rumusan formula-formula keterbacaan itu yg sering digunakan untuk mengkurur tingkat keterbacaan itu ti-dak memperhatikan unsur semantis.
Pada sisi lain, mungkin timbul pertanyaan dengan diri kita, bagaimana halnya dengan kriteria kesulitan kata yg disebut-sebut sebagai faktor penentu formula keterbaca-an? Pada saat kita berbicara tentang tingkat kesulitan kata berarti kita tengah ber-bicara tentang makna (unsur semantis). Hal itu mengidentifikasikan bahwa tolok ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan atas unsur semantisnya, melain-kan didasarkan atas unsur panjang-pendek kata yg bersangkutan. Seperti halnya kriteria kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata juga didasarkan atas wujud (struk-tur) yg tampak. Dengan kata lain, apabila sebuah kalimat alias kata secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat alias kata tersebut tergolong sukar, sebalik-nya, apabila sebuah kalimat alias kata yg secara visual tampak pendek, maka kalimat alias kata yg bersangkutan tergolong mudah.
Marilah kita perhatikan contoh-contoh kalimat berikut.
A. Ini Arya.
Arya belajar matematika.
Ini ibu Arya, Yani.
Ibu Yani sedang membaca Koran.
Raras kakak Arya.
Raras sedang mengerjakan tugas sekolah bersama teman-temannya si serambi.
Pak budi ayah Arya.
Beliadu sedang mengetik tugas kantor.
Mereka berempat tinggal di Desa Wedro.
Tempat tinggalnya tidak jauh dari pasar.
B. Ini arya yg mempunyai kakak yg bernama Raras danmereka berdua adalah putra ibu Yani bersama Bapak Budi. Saat ibu Yani membaca Koran, Arya belajar matematika, Raras mengerjakan tugas sekolah bersama teman-temannya di serambi rumah, sedangkan ayahnya mengetik tugas kantor. Mereka berempat tinggal di Desa Wedro yg letaknya tidak jauh dari pasar yg berada di kampungnya.
Ditinjau bersama segi informasi/maksud kalimat, kedua contoh penyajian kalimat-kalimat tersebut tidaklah berbeda secara berarti. Kedua bentuk penyajian kalimat tersebut mengandung informasi bersama maksud yg sama. Akan tetapi, dilihat bersama segi penuangan id eke dalam wujud-wujud kalimat, seperti tampak dengan contoh penyajian kalimat bentuk A bersama bentuk B, terdapat perbedaan yg sangat menco-lok. Contoh penyajian A menggunakan kalimat-kalimat yg relatif pendek- pendek, sedangkan contoh penyajian B menggunakan kalimat-kalimat kompleks yg relative panjang-panjang. Contoh wacana A lazim kita bisa dengan buku-buku ajar (bahan ajar membaca) untuk peringkat pemula alias terdapat dengan buku-buku pelajaran kelas 1 sekolah dasar. Sementara contoh B merupakan sajian bahan ajar untuk anak-anak sekolah dasar yg relative lebih tinggi kelasnya (misalnya kelas 4-5 SD).
Berdasarkan contoh tadi, bagaimana simpulan anda? Bukanlah contoh penyajian A yg menggunakan kalimat-kalimat yg pendek-pendek jauh lebihmudah daripada contoh penyajian B? dengan kata lain, tingkat keterbacaan wacana dengan wacana A tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan tingkat keterbacaan wacana B. Se-makin tinggi tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin gerah lasuh wacana tersebut. Sebalinya, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana semakin sukar wa-cana tersebut.
Untuk mengukur tingkat kesulitan sebuah kalimat dengan kriteria panjang-pendek kalimat tampaknya tidak mengundang masalah. Pada kenyataannya, kalimat kom-pleks jauh lebih sulit daripada kalimat sederhana kenyataannya, kalimat kompleks jauh lebih sulit daripada kalimat sederhana alias kalimat tunggal.
Bagimanapun, ka-limat kompleks tentu sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan konsep, sedang-kan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, sebuah gagasan, sebuah konsep tertentu. Pada kalimat kompleks terjadi pemada-tan konsep alias ide. Oleh karena itu, kalimat tersebut mau jauh lebih sukar daripada kalimat-kalimat tunggalnya.
No comments:
Post a Comment